Welcome To My Blogspot dwigautamaputra.blogspot.com

Wednesday, November 11, 2009

PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
Pendidikan Agama Buddha adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhalak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai ajaran Buddha.
Agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewudutkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. pendidikan agama dijalankan melalui pendidikan baik pendidikan dilingkungan keluarga sekolah maupun masyarakat.
Pendidikan agama dimaksutkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual. Akhlak mulia mencangkup etika, budi pekerti dan moral sebagai perwujutan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencangkup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan serta penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individu ataupun kolektif kemasyarakatan.peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimali sasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualinya mencerminkan harkat dan martabat sebagai mahluk tuhan.


BAB II
PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA
DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

A.   Definisi Guru
1.      Definisi Guru secara umum
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Pasal 1 ayat 1 UU Guru dan Dosen). Sedangkan profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Pasal 1 ayat 4).
Sedangkan menurut Emil (2005) Profesional adalah suatu bidang pekerjaan yang memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Dengan kata lain sebuah profesi rnemerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu.Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimaI. Dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.

2.      Definisi guru dalam agama buddaha
Pekerjaan guru adalah suatu profesi yang menuntut pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu. Karena itu ia harus memiliki kom­petensi profesional. Kompetensi ini tidak berdiri sendiri, tetapi  terkait dengan tanggungjawab moral dan tanggung jawab sosial, yang dipraktikkan dalam kehidupan individu dan kehidupan sosial. .
Untuk mengajar, Buddha memberi petunjuk kepada Ananda agar memenuhi lima hal, yaitu: mengajar secara bertahap, mengajar de­ngan alasan atau berdasar sebab yang mendahului sehingga dime­nger­­ti, mengajar terdorong karena cinta kasih, mengajar tidak bertu­juan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, mengajar tanpa meru­gikan diri sendiri ataupun orang lain (A. III. 184).
Sekalipun menguasai berbagai mukjizat, Buddha tidak menyaran­kan penggunaan cara-cara magis dan supernatural untuk mengajar. Buddha menggunakan kekuatan ajaran sebagai keajaiban mengajar (anusa­sani-patihariya), yang menunjukkan alasan atau sebab untuk diper­tim­­bangkan, sehingga orang mau melatih diri dan menyingkir­kan apa yang buruk (D. I. 214).
Buddha mengajarkan Dharma dengan pengetahuan tinggi yang da­pat dipahami (abhinnaya-dhammadesana), bukan penge­ta­huan yang ti­dak dapat dipahami, memperlihatkan kebenaran supaya orang lain ikut memiliki pengetahuan dan berpandangan benar. Ia  menga­jarkan Dhar­ma dengan hu­bungan sebab akibat (sanidana-dhamma­desana), bukan tanpa hu­bung­an sebab akibat. Ia mengajarkan Dharma yang me­­nak­jubkan dan praktis meyakinkan (sappatihariya-dhammadesa­na). Karena alasan yang baik, kenapa Ia mengingatkan, karena alasan yang baik kenapa Ia memberi petunjuk (A. I. 276).
Seorang gu­ru adalah orang yang mendengar dan menyebabkan orang lain men­dengar, seorang yang belajar dan mengajar, seorang yang tahu dan memberi tahu dengan jelas, seorang yang cakap me­ngenali kecocokan dan ketidakcocokan, serta tidak menimbulkan per­tengkaran. Ia tidak bimbang di depan orang banyak, ceramahnya ti­­dak kehilangan arah, tanpa ada yang disembunyikan, tidak ragu-ragu berbicara, dan tidak menjadi bingung atau marah menghadapi  per­tanyaan (A. IV. 196).
Seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaimana se­orang biku senior, yaitu: Ia adalah orang yang me­nguasai analisis lo­gika; menguasai analisis hubungan sebab akibat; menguasai analisis tatabahasa; menguasai analisis segala sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para pengikut, menjalani kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A. III. 113).
Biku Sariputra berkata kepada para biku lain: “Saudara, se­orang guru yang ingin memberi petunjuk kepada orang lain, hendaknya ia sendiri mengembangkan lima hal dengan baik, kemu­dian barulah ia memberi petunjuk. Apakah kelima hal tersebut? Aku akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat. Aku akan berbicara tentang sesuatu yang me­rupakan fakta, tidak tentang sesuatu yang bukan fakta. Aku akan berbicara dengan lemah lembut, tidak dengan cara yang kasar. Aku akan berbicara mengenai tujuan, tidak mengenai apa yang bukan tujuan. Aku akan berbicara dengan pikiran yang diliputi cinta kasih, bukan dengan pikiran yang diliputi niat buruk.” (A. III. 195)
Mengutip kata-kata Lama Govinda, “Ajaran seorang guru bukan hanya kata-kata yang keluar dari mulutnya melainkan juga apa yang tetap tidak terkatakan, karena yang tidak terucapkan ini jauh me­lampaui jangkauan kemampuan perkataan manusia. Guru adalah pem­­­beri ilham, dalam arti men­dorong seseorang dengan semangat hidupnya sendiri.” Guru memberikan pengetahuan tetapi sekali­gus pula ia memberikan dirinya sendiri.


B.   Definisi Pendidikan

Arti pendidikan secara etimologis, pendidikan berasal dari kata paedagogie dari bahasa Yunani terdiri dari kata “pais” artinya anak, dan “again” diterjemahkan membimbing, jadi peadagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.
1.      Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli

a)      Menurut Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,dan karater), pikiran (intelektualitas) dan tubuh anak.
b)      Menurut Crow and Crow
Pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu, untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial bagi generasi kegenerasi.
c)      Menurut John Dewey
Pendidikan adalah proses yang berupa pengajran dan bimbingan yang terjadi karena adanya interaksi dengan masyarakat.
d)      Menurut H. Horne
pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
e)      Menurut Frederick J. Mc Donald
pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat.

2.      Devinisi Pendidikan dalam Kamus Bahasa Indonesia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu: memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.

  1. Definisi Pendidikan Menurut UUD no 2 th 2003
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Jadi berdasarkan beberapa definisi  diatas, pendidikan dapat di pahami sebagai berikut:
Ø      Memajukan tumbuhnya budi pekerti,pikiran,dan tubuh anak
Ø      Proses pertumbuhan yang menyesuaikandengan lingkungan
Ø      Pengarahan, bimbingan, latihan
Ø      Usaha sadar untuk menciptakan keadaan tertentu
Ø      Pembentukan kepribadian anak menuju arah Kedewasaan
Ø      Kegiatan yang ber kesinambungan
Ø      Merubah tingkah laku

4.      Definisi Pendidikan dalam Agama Buddha
Pendidikan berasal dari istilah sikkha (latihan), tersirat bahwa pendidikan merupakan proses belajar, latihan pelajaran, mempelajari, mengembangkan dan pencapaian penerangan. Pada isitilah ini termasuk juga disiplin moral (síla), konsentrasi (samadhi), dan pengetahuan atau kebijaksanaan (pañña) (A.I.231). Demikian proses secara terus-menerus dari perhatian pendidikan sebagai sifat fungsional  dari latihan, praktek, dan kemajuan setahap-demi setahap (anupubbasikkha anupubbakiriyä anupubbapaëipadä).
Selama empat puluh lima tahun Sang Buddha membabarkan jalan pembebasan. Beliau dikenal sebagai guru para dewa dan manusia (sattha devamanussanam) dan pernbimbing manusia. Disiplin moral (síla), meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (pañña) yang dicapai berdasarkan perealisasian keadaan sebenarnya dan kehidupan merupakan dasar dan Jalan yang diajarkan beliau. Hal ini dihubungkan belajar seumur hidup dan meditasi yang ditujukan pada latihan dan mengendalikan pikiran (batin).
Landasan Filosofi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada em­­pat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), yaitu mengidenti­fika­si dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan meng­akhiri du­kkha. Lewat formulasi ini Buddha memberi petunjuk bagai­mana sebaik­nya mengatasi masalah secara sistematis. Berdasar rumusan Empat Ke­be­naran Mulia Kowit Vorapipatana mengembangkan kon­sep Khit-Pen yang artinya ‘berpikir, mengada’ (to think, to be) atau ‘mampu ber­pikir’ (to be able to think) untuk menggambarkan strategi peng­ajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan kecakapan me­me­cahkan masalah.
Masalah sentral dalam pandangan Buddha adalah penderitaan ma­nusia. Penderitaan bersumber pada keinginan yang rendah (tanha). Keinginan sendiri timbul tergantung pada faktor lain yang men­da­huluinya. Dalam merumuskan rangkaian sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasa­muppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari se­mua noda itu adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para Bhikkhu, singkir­kan noda ini dan jadilah orang yang tak bernoda” (Dhp. 243).
Agama Buddha memandang bahwa kebodohan merupakan akar penyebab penderitaan dan menyebabkan pikiran yang tidak berkembang menjadi gangguan pencapaian kedamaian, maka seseorang harus menekankan dalam hidupnya untuk mengembangkan mental dan proses pendidikan agar tujuan mulianya tercapai.
Pendidikan dalam agama Buddha dapat di katakan bersipat pragmatis menyangkut pemecahan masalah untuk mencapai tujuan hidup manusia. Pilosopi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada empat kebenaran mulia (cattary arya saccani) yaitu mengidentipikasi: 1). Dukka 2). Asal mula dukkka 3). Lenyapnya dukka 4).Jalan lenyapnya dukka
Kesunyataan mulia yang merupakan jalan yang dapat membimbing orang keberhentinya atau lenyapnya penderitaan itu, yaitu dengan cara jalan  utama berunsur delapan yang di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a.      Sila:
1.      Samma Vacca (ucapan benar )
2.      Samma Kammanta (perbuatan benar)
3.      Samma Ajiva (penghidupan benar)

b.      Samadhi:
1.      Samma Vayama (daya upaya benar)
2.      Samma Sati (perhatian benar)
3.      Samma Samadhi (kosentrasi benar)

c.       Panna
1.      Samma Ditthi (pengertian benar)
2.      Samma Sankhapa (pikiran benar)

secara sederhana yaitu menghindari menyakiti orang lain dan menolong mereka sebisa mungkin yaitu menghindari perbuatan negatif, melakukan kebajikan, mengendalikan batin kita. Dan motifasi-motifasi yang menghancurkan (kemarahan, kemelekatan kebencian, dll) kita berhenti menyakiti diri sendiri dan orang lain. Dengan melakukan kebajikan semputna, mengembangkan sikap yang bermanfaat, seperti cinta kasih dan welas asih universal, dan melakukan perbuatan yang di motifasi oleh pikiran. Dengan mengendalikan batin, kita membuang semua pandangan yang salah.
Ajaran Buddha atau dharma dipandang sebagai pelita yang menerangi kegelapan. Budha mengajarkan ”peganglah teguh dharma sebagai pelita , dan dharma sebagai pelindungmu”. Dengan demikian berarti seseorang menjadi pelita dan pelindung bagi diri sendiri, sehingga tidak menyalahkan nasibnya pada mahluk lain (D,II, 100 ).
Pendidikan pada dasarnya bersifatt terbuka tidak ada yang disembunyaika,dharma yang diajarkan oleh sang Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipasiko, artinya,datang dan lihat (A . III 285 ). Karena itu pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengajian, pemahaman yang rasioanal, dan pengalaman empiris.Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus pada proses, suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian sebab akibat.Seseorang yang melihat sebab akibat, melihat dharma (M . I, 191 ).

C.   Tugas Guru

Tugas guru terdapat dalam, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa tugas guru sebagai pendidik yang profesional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.

D.   Meningkatkan Mutu Pendidikan

Untuk meningkat mutu pendidikan kususnya pendidikan dalam agama buddha seharunya seorang tenaga pengajar yang perofesional memiliki stertegi yang di gunakan dalam pembelajaran dan untuk meningkatkan mutu pendidikan ada pun strategi yang di gunakan:
1. Perencanaan
Suatu perencanaan mengandung tujuan, kebijaksanaan dan cara mencapai tujuan, kegiatan yang akan dilakukan secara sistematis dan didasarkan pada perhitungan. Dalam perencanaan Buddha mem­per­timbangkan situasi permasalahan dengan hambatan dan potensinya. Ia menghindari atau mem­ba­tasi ketidakpastian, dan sebaliknya memas­tikan prospek perkembangan pada masa yang akan datang. Dengan bahasa kita sekarang Ia memilih alternatif yang terbaik dan prioritas yang tepat se­hing­ga da­pat memanfaatkan sumber daya de­ngan efek­tif sekaligus efisien.      
Setiap orang memiliki masalah sendiri. Masing-masing bisa ber­beda pendapat. Buddha tidak meng­a­baikannya dan biasa bertanya: “Apa pendapat­mu?” atau “Bagaimana pikiranmu?” Berbagai dialog yang tercatat dalam Kitab Suci dimulai dengan pertanyaan itu. Setiap orang bisa berbeda ke­butuhan dan keinginan. Buddha mempertim­bang­kan keunikan setiap orang. Merencanakan suatu pertolongan, termasuk dalam bidang pendidikan, perlu memperhatikan pendapat dan keinginan orang yang akan ditolong atau dididik. Suatu perenca­naan yang menyangkut kepentingan pihak lain memer­lukan ke­sa­maan pendapat dan kesamaan sisi pandang. Peserta didik harus tahu me­ngapa ia ingin belajar atau diajar. Motivasi yang kuat akan mem­beri energi yang besar untuk melakukan kegiatan belajar. Suatu stra­tegi pendidikan harus dimulai dengan memotivasi.   
Agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik, harus ada persiapan. Kesiapan mengajar dan kesiapan belajar sama pentingnya. Bagaimana mempersiapkan seseorang untuk belajar, di­tun­jukkan oleh Buddha, misalnya dengan memberi makan orang yang lapar sebelum Ia me­nyampaikan khotbah-Nya (DhpA. 203).
Kondisi belajar selain berhubungan dengan keadaan fisik dan psi­kis seseorang, juga dipengaruhi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan perlu dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan pendidikan terten­tu. Lingkungan memiliki pengertian luas, apakah itu lingkungan so­sial, budaya, ekonomi, atau tempat terkait dengan situasi dan kon­disi. Seperti latihan meditasi menghendaki pe­milihan lingkungan yang se­suai menurut objeknya. Hutan misalnya, menja­di tempat pi­lih­an untuk mereka yang melatih diri dengan menyingkir dari kedu­niawian (Dhp. 99). 
2. Strategi Pendekatan
Oleh karena setiap orang itu unik, pendekatan dalam pendidikan bera­gam memperhatikan potensi atau kapasitas, kebu­tuhan, sifat dan mi­nat peserta didik. Setiap orang diterima sebagaimana adanya dengan kelebihan atau kekuatannya dan kekurangan atau kelemahannya. Se­perti yang diumpamakan oleh Buddha, ber­­macam-macam pohon, besar, sedang atau kecil, mene­rima air hu­jan sesuai dengan kebu­tuhannya untuk tumbuh berkem­bang. Ca­ra men­didik pun bermacam-macam agar peserta didik men­dapat manfaat yang sebesar-besarnya (Saddharmapundarika-sutra V).
Pendidikan diberi secara sistematis dengan langkah bertahap. Ke­giatan yang dimulai dengan sasaran-sasaran yang mudah dicapai, akan memberi pengalaman berhasil yang mendorong langkah-langkah berikutnya. Ganaka-Moggallana pernah bertanya kepada Bud­­dha me­ngenai la­tihan yang bertahap, yang dibandingkannya de­ngan bagai­mana se­orang murid diajar menghitung satu-satu, dua-dua, tiga-tiga, hingga sepuluh lalu seratus. Buddha pun menjelaskan bagai­mana ajaran-Nya secara bertahap dan sistematis dapat dipelajari dan di­laksanakan, mulai dari peraturan, mengendalikan indera, hingga me­ngembangkan konsentrasi dan mencapai jhana (M. III. 1-2). Cara yang bertahap diumpamakan seperti memperlakukan anak yang hi­lang, setelah kem­bali, memer­lukan penyesuaian diri, selangkah demi selangkah diberi kesempatan untuk me­ningkatkan kedudukan atau tugas dan tanggung jawab­nya  (Saddharmapundarika-sutra IV).
Keterampilan dalam cara pendekatan menyangkut apa yang dina­makan upaya-kausalya. Secara harfiah kata upaya kausalya berarti “cara untuk mencapai hal yang harus dicapai”. Pengertian ini meliputi berbagai cara atau instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kebebasan. Istilah ini juga sering diartikan sebagai “ke­pandaian atau keterampilan untuk membuat yang lain mencapai tu­juan”. Keterampilan dalam cara ini dipandang merupakan salah satu bentuk kesem­purnaan dari sepuluh kesempurnaan (dasa-paramita) seorang Bodhisattwa yang penuh dengan cinta kasih (maitri) dan kasih sayang (karuna).  
Kasus Biku Cula Panthaka merupakan contoh bagaimana pende­katan individual memperhatikan keunikan seseorang yang memer­lukan keterampilan dalam cara mendidik. Biku yang tidak pandai meng­­hafal ini diajar oleh Buddha untuk duduk di bawah terik mata­hari, menggosok kain putih yang bersih, mengamatinya seraya meng­u­capkan kata-kata “bersih dari kekotoran”. Melihat proses kain itu menjadi kotor kena keringat tangannya, seketika ia sampai pada pe­mahaman induksi kausalitas dan ketidakkekalan (DhpA. 25). Peris­tiwa ini mirip dengan Newton yang mengamati apelnya atau Archi­me­des yang meng­­amati air bak mandinya.  
Belajar tidak hanya untuk mengetahui atau mengingat (pariyatti) tetapi juga untuk melaksanakan (patipatti) dan mencapai penembusan (pativedha). “Meskipun seseorang banyak membaca Kitab Suci, teta­pi tidak berbuat sesuai dengan Ajaran, orang yang lengah itu sama seperti gembala yang menghitung sapi milik orang lain, ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.” (Dhp. 19). Pengetahuan saja  tidak akan membuat orang terbebas dari penderitaan, tetapi ia juga harus melaksa­nakannya (Sn. 789).
Manusia adalah paduan unsur jasmani (rupa) dan rohani (nama), yang saling berkaitan, saling bergantungan dan saling mempengaruhi, tanpa ada yang menjadi inti (anatta). “Segala sesuatu adalah tanpa inti” (Dhp. 279). Buddha tidak memisahkan jiwa sebagai suatu sub­stansi yang berdiri sendiri atau terpisah dari raga. Karena itu dalam pendidikan, mem­bangun jiwa tidak mungkin tanpa disertai mem­ba­ngun raga, dan membangun raga harus disertai membangun jiwa. 
Mengacu pada pembicaraan Buddha dengan Kesi, strategi  pende­katan dalam pendidikan dapat dibedakan atas:
1.    Pendekatan halus/ positif: menunjukkan apa yang baik dan ha­silnya yang menimbulkan kese­nangan atau keuntungan.
2.    Pendekatan keras/negatif: menunjukkan apa yang tidak baik dan hasilnya yang menimbulkan penderitaan atau kesusahan.
3.    Gabungan pendekatan keras dan halus.   
Tentu saja peserta didik tidak kehilangan kebebasan, tetapi mema­hami konsekuensi yang akan dihadapi atas pilihannya. Gagal dengan ketiga bentuk pendekatan itu, akhirnya seorang siswa yang tidak dipedulikan atau dimasabodokan sama saja artinya dengan dibunuh (A. II. 111).
Pendekatan yang halus ditemukan pada ajaran tentang perbuatan yang baik dan hasilnya yang baik, misal jenis-jenis perbuatan yang menghasilkan kelahiran kembali di alam surga. Mengajarkan  medi­tasi dan hasilnya hingga mencapai tingkatan-tingkatan jhana, begitu juga tingkat kesucian dan ciri-cirinya, memakai pendekatan halus atau intervensi berupa fasi­li­tasi. Fasilitasi bersifat informa­tif, dan tujuan pencapaian ditetapkan sendiri oleh peserta didik. Buddha se­ring me­nem­patkan diri sebagai fasilitator, seperti dalam kasus Kisa Gotami yang diminta mencari segenggam biji lada dari rumah orang yang tidak pernah kematian, untuk menghidupkan anaknya yang sudah mati (DhpA. 114).
Pendekatan halus yang lain adalah persuasi, yang bersifat meng­ajak melalui argumentasi atau diskusi, de­ngan memberikan alasan dan prospek baik yang meyakin­kan. Misalnya dalam hal men­dorong umat berdana, mempertahankan kerukunan, menghormati orang tua. Cara persuasi diper­gu­nakan oleh Buddha ketika menuntun Ambattha untuk menyadari bahwa tidak benar martabat manusia ditentukan oleh kela­hiran atau kastanya (D. I. 92-100). Atau ketika menyadarkan Visakha bahwa semakin ba­nyak memiliki anak dan cucu, akan semakin sering berduka meng­hadapi kematian mereka yang dicin­tainya (Ud. 91-92). Dalam kasus Biku Nanda yang bosan menjadi biku, sehingga Buddha memper­lihatkan lima ratus bidadari kepada­nya (DhpA. 13-14), agak­nya dapat ditemukan cara per­suasi sekaligus manipulasi. Dalam hal ini manipulasi yang dimak­sud bukan kecu­rangan atau dusta yang me­rugikan seseorang.      
Manipulasi adalah upaya untuk mempengaruhi perilaku, sikap dan pendapat orang lain tanpa sepe­ngetahuan atau disadari oleh orang itu. Cara seperti ini dapat dilihat dari parabel bagaimana seorang ayah menawarkan mainan untuk menyelamatkan anak-anaknya yang ada dalam rumah yang terbakar (Saddharmapundarika-sutra III), atau parabel penciptaan kota palsu dan gaib untuk me­ne­nangkan jemaah yang nyaris urung meneruskan perjalan­an ke kota idaman (Saddhar­ma­pundarika-sutra VII). Praktik mengumpulkan dana melalui penye­lenggaraan ritual, menggunakan kegiatan bermain untuk mengajar, dapat dikatakan mengandung unsur manipulasi.
Pendekatan keras ditemukan pada ajaran tentang perbuatan yang buruk menghasilkan akibat yang buruk, dan kelahiran di alam-alam binatang ataupun neraka. Berlawanan dengan penghargaan atau se­ma­cam hadiah pada pendekatan halus, pada pendekatan keras gan­jaran itu berupa hukuman. Penggu­naan hukuman atau sanksi pada suatu peraturan atau hukum merupakan tekanan yang membuat orang tidak ingin melanggarnya. Koersi, bersifat memaksa, apakah itu ins­truksi, hukum, atau kontrak, selalu diikuti sanksi. Tentu saja orang yang berinteraksi tidak kehilangan kebebasan untuk menentukan pi­lihan­nya. Hanya dengan memiliki kebebasan setiap manusia bertang­gung­jawab.  
Untuk menjinakkan dan melatih gajah liar yang baru lebih mudah dengan bantuan gajah lain yang sudah jinak dan terlatih. Gajah liar diikat pada gajah jinak yang membimbingnya keluar dari hutan. Ga­jah yang diikat itu mulai dilatih ba­gaimana seharusnya mengatur laku supaya diterima oleh ling­kung­annya yang baru (M. III. 132). Gajah yang dibesarkan di tengah rombongan sirkus tidak bisa lain dari menjadi gajah sirkus. Kebiasaan itu ditularkan. Untuk men­ja­di pan­dai, Buddha menganjurkan agar bergaul dengan orang yang pandai. “Karena itu mendapatkan orang yang pandai, bijaksana, ter­pelajar, tekun, patuh dan mulia, hendaknya ia selalu mengikuti orang seperti itu bagai bulan mengikuti peredaran bintang” (Dhp. 208). 
3. Metode Pembelajaran
Penyampaian ajaran dilakukan kepada dan dengan pendekatan in­dividu atau kelompok. Ceramah diberikan secara sistematis. Agar mudah diingat, penyampaian materi dapat diberi urutan nomor, dike­lompokkan menurut tema dan berdasar jumlah butir uraian seperti yang ditemukan dalam Kitab Suci Anguttara-Nikaya. Buddha sering mengulang khotbah-Nya yang penting pada berbagai kesem­patan. “Sering mengulang pelajaran membuahkan pengetahuan yang men­dalam” (A. V. 136). Selain narasi deskriptif dan analisis, Buddha ba­nyak menyampaikan ajaran dalam bentuk cerita dan syair. Peng­ung­kap­an konsep mungkin mengha­dapi keterbatasan kata-kata, kare­na itu yang dipentingkan adalah menangkap maknanya. Selain mema­kai sinonim, berbagai perum­pamaan, contoh-contoh, visualisasi atau pe­ragaan dipergunakan untuk membe­ri penjelasan. Buddha juga meng­­izin­kan orang yang mempe­lajari ajaran-Nya untuk mengguna­kan ba­ha­sa masing-masing (Vin. II. 139). Di akhir pembahasan dibuat ke­sim­pulan yang singkat tetapi jelas. Teknik-teknik semacam ini me­mu­dahkan para umat untuk memahami dan menghafal apa yang telah diajarkan. Selain itu teori harus didukung oleh praktik atau latihan.           
Komunikasi yang baik akan membawa keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Untuk itu diperlukan tanya jawab dan dialog secara aktif. “Sering mendengarkan dan menanyakan membuahkan kebijak­sanaan” (A. V. 136). Diskusi dan debat merupakan cara yang efektif sepanjang tidak mengabaikan aspek manfaat. Buddha Gotama ahli dialog dan dialek­tika yang selalu membuat orang-orang tunduk di kala berdebat. Ia mesti mengatasi segala perbedaan dan pertentangan pandangan di zaman yang se­demikian kusut dan menjerat manusia bagai perangkap jaring. Yang menarik dari diri Buddha adalah per­paduan antara ke­pala yang dingin dan hati yang hangat. Buddha bebas dari perasaan sentimental di satu pihak dan di pihak lain ti­daklah bersikap masa bodoh.    
Agar mem­peroleh pengertian yang benar, di­per­lukan kesaksian dari orang yang lain dan pengamatan atau pere­nungan sendiri yang setepat-tepatnya secara bijaksana (M. I. 294). Si­kap subjektif seperti su­ka dan tidak suka (Sn. 781), kecenderungan karena keinginan yang mengikat, ke­bencian, kegelapan batin dan ketakutan (A. II. 18) merin­tangi sese­orang untuk memahami kebenaran apa adanya.
Buddha memberi kesempatan bagi mereka yang ingin mengemu­ka­kan opini. “Para Biku, Aku mengizinkan, bilamana terdapat empat atau lima orang yang menyanggah, bilamana terdapat dua atau tiga orang mengutarakan pendapat. Bila hanya seorang yang mengambil keputusan, tiadalah Aku berke­nan” (Vin I. 115). Semangat ini dapat ditemukan dalam berbagai metode diskusi, seperti seminar, simpo­sium, dan lokakarya. Tentu saja, kegiatan kelompok akan berhasil ji­ka semua peserta berperan secara aktif dan bermakna.
Setiap peserta didik memerlukan pengalaman belajar mandiri mau­­pun belajar dalam kelompok. Tugas perorangan sebagai latihan me­rupa­kan cara yang dapat dikem­bangkan sesuai dengan kebu­tuhan. Untuk memahami permasalahan dan memecahkan masalah, studi ka­sus dan studi lapangan tentu akan memberi pengalaman belajar yang efektif.  
Pengetahuan manusia adalah segala sesuatu yang dijangkau oleh mata dan bentuk materi, telinga dan bunyi, hidung dan bau, lidah dan rasa, badan dan objek-objek sentuhan, pikiran dan objek-objek mental (S. IV. 15). Untuk mendapatkan persepsi lewat indera yang sebaik-baiknya, berbagai media audio visual atau multi media akan sangat menolong. Selain itu suasana lingkungan belajar juga memberi pe­nga­ruh yang cukup besar.




BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk memajukan kebudayaan melewati generasi. dan guru adalah sebagai pembimbing, pendidik, fasilitator, dan pembaharu dalam kegiatan pendidikan ketarap yang lebih kedepan. Sang buddha juga tidak meng­hendaki pendi­dikan yang menghasilkan seba­risan orang buta yang saling me­nuntun (M. II. 170).

B.   Saran
Demikian karya tulis yang telah penulis buat, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam meningkatkan pembelajaran. Semoga karya tulis ini dapat membantu pembaca dalam memahami seorang guru untuk meningkatkan pendidikan dalam agama Buddha.
Penulis menyarankan untuk mengetahui pengertian Konsep Pendidikan lebih lanjut diharapkan dapat membaca buku buku yang lain agar dapat memahami lebih mendalam. 



REFERNSI
Cintiawati, Wena, dkk., 2003. Petikan Angutara Nikaya. Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Emil Rosmali. 2005. Tugas Dan Peranan Guru, (online), (http://alfurqon.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=110, diakses 2 januari 2009)
Supandi, Cunda. J. (penterjemah). 1997. Dhammapada. Bandung: Karaniya.
Tim Penyusun, 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Tim Penullis. 1999.Pengantar Pendidikan : CV. IKIP Semarang Press:Semarang
Wijaya-mukti, Krishnanda, 2003. Wacana Buddha-Dhamma.Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhist Centre.

0 comments:

Post a Comment