BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pendidikan Agama Buddha adalah usaha yang
dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berakhalak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai
ajaran Buddha.
Agama memiliki peran yang sangat penting dalam
kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewudutkan
suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. pendidikan agama
dijalankan melalui pendidikan baik pendidikan dilingkungan keluarga sekolah
maupun masyarakat.
Pendidikan agama dimaksutkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual. Akhlak mulia
mencangkup etika, budi pekerti dan moral sebagai perwujutan dari pendidikan
agama. Peningkatan potensi spiritual mencangkup pengenalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan serta penerapan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan individu ataupun kolektif kemasyarakatan.peningkatan potensi
spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimali sasi berbagai potensi
yang dimiliki manusia yang aktualinya mencerminkan harkat dan martabat sebagai
mahluk tuhan.
BAB II
PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA
DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
A.
Definisi
Guru
1.
Definisi Guru secara umum
Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah. (Pasal 1 ayat 1 UU Guru dan Dosen). Sedangkan
profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi (Pasal 1 ayat 4).
Sedangkan menurut Emil
(2005) Profesional adalah suatu bidang pekerjaan yang memerlukan
beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian
diaplikasikan bagi kepentingan umum. Dengan kata lain sebuah profesi
rnemerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya.
Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan
oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu.Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas maka pengertian guru profesional adalah orang
yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia
mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimaI. Dengan kata
lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta
memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.
2. Definisi guru dalam agama buddaha
Pekerjaan guru adalah suatu profesi yang menuntut pengetahuan, keterampilan
dan keahlian tertentu. Karena itu ia harus memiliki kompetensi profesional.
Kompetensi ini tidak berdiri sendiri, tetapi
terkait dengan tanggungjawab moral dan tanggung jawab sosial, yang
dipraktikkan dalam kehidupan individu dan kehidupan sosial. .
Untuk mengajar, Buddha memberi petunjuk kepada Ananda agar memenuhi lima
hal, yaitu: mengajar secara bertahap, mengajar dengan alasan atau berdasar
sebab yang mendahului sehingga dimengerti, mengajar terdorong karena cinta
kasih, mengajar tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, mengajar
tanpa merugikan diri sendiri ataupun orang lain (A. III. 184).
Sekalipun menguasai berbagai mukjizat, Buddha tidak menyarankan penggunaan
cara-cara magis dan supernatural untuk mengajar. Buddha menggunakan kekuatan
ajaran sebagai keajaiban mengajar (anusasani-patihariya),
yang menunjukkan alasan atau sebab untuk dipertimbangkan, sehingga orang mau
melatih diri dan menyingkirkan apa yang buruk (D. I. 214).
Buddha mengajarkan
Dharma dengan pengetahuan tinggi yang dapat dipahami (abhinnaya-dhammadesana), bukan pengetahuan yang tidak dapat
dipahami, memperlihatkan kebenaran supaya orang lain ikut memiliki pengetahuan
dan berpandangan benar. Ia mengajarkan
Dharma dengan hubungan sebab akibat (sanidana-dhammadesana),
bukan tanpa hubungan sebab akibat. Ia mengajarkan Dharma yang menakjubkan
dan praktis meyakinkan (sappatihariya-dhammadesana).
Karena alasan yang baik, kenapa Ia mengingatkan, karena alasan yang baik kenapa
Ia memberi petunjuk (A. I. 276).
Seorang guru adalah orang yang mendengar dan menyebabkan orang lain mendengar,
seorang yang belajar dan mengajar, seorang yang tahu dan memberi tahu dengan
jelas, seorang yang cakap mengenali kecocokan dan ketidakcocokan, serta tidak
menimbulkan pertengkaran. Ia tidak bimbang di depan orang banyak, ceramahnya
tidak kehilangan arah, tanpa ada yang disembunyikan, tidak ragu-ragu
berbicara, dan tidak menjadi bingung atau marah menghadapi pertanyaan (A. IV. 196).
Seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaimana seorang biku
senior, yaitu: Ia adalah orang yang menguasai analisis logika; menguasai
analisis hubungan sebab akibat; menguasai analisis tatabahasa; menguasai
analisis segala sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para
pengikut, menjalani kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan aktif, berusaha
meneliti persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A. III. 113).
Biku Sariputra berkata kepada para biku lain: “Saudara, seorang guru yang
ingin memberi petunjuk kepada orang lain, hendaknya ia sendiri mengembangkan
lima hal dengan baik, kemudian barulah ia memberi petunjuk. Apakah kelima hal
tersebut? Aku akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak
tepat. Aku akan berbicara tentang sesuatu yang merupakan fakta, tidak tentang
sesuatu yang bukan fakta. Aku akan berbicara dengan lemah lembut, tidak dengan
cara yang kasar. Aku akan berbicara mengenai tujuan, tidak mengenai apa yang
bukan tujuan. Aku akan berbicara dengan pikiran yang diliputi cinta kasih,
bukan dengan pikiran yang diliputi niat buruk.” (A. III. 195)
Mengutip kata-kata Lama Govinda,
“Ajaran seorang guru bukan hanya kata-kata yang keluar dari mulutnya melainkan
juga apa yang tetap tidak terkatakan, karena yang tidak terucapkan ini jauh melampaui
jangkauan kemampuan perkataan manusia. Guru adalah pemberi ilham, dalam arti
mendorong seseorang dengan semangat hidupnya sendiri.” Guru memberikan
pengetahuan tetapi sekaligus pula ia memberikan dirinya sendiri.
B.
Definisi
Pendidikan
Arti pendidikan
secara etimologis, pendidikan berasal
dari kata paedagogie dari bahasa
Yunani terdiri dari kata “pais” artinya
anak, dan “again” diterjemahkan
membimbing, jadi peadagogie yaitu
bimbingan yang diberikan kepada anak.
1. Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli
a) Menurut Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah daya upaya
untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,dan karater), pikiran
(intelektualitas) dan tubuh anak.
b) Menurut Crow and Crow
Pendidikan adalah proses yang
berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu, untuk kehidupan
sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial bagi
generasi kegenerasi.
c) Menurut John Dewey
Pendidikan adalah proses yang
berupa pengajran dan bimbingan yang terjadi karena adanya interaksi dengan
masyarakat.
d) Menurut H. Horne
pendidikan adalah proses yang
terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia
yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada
vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan
kemanusiaan dari manusia.
e) Menurut Frederick J. Mc Donald
pendidkan adalah suatu proses
atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat.
2. Devinisi Pendidikan dalam Kamus Bahasa
Indonesia
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu: memelihara
dan memberi latihan mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Sedangkan
pendidikan mempunyai pengertian: proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan,
cara mendidik.
- Definisi Pendidikan Menurut UUD no 2 th 2003
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Jadi berdasarkan beberapa definisi diatas, pendidikan dapat di pahami sebagai
berikut:
Ø
Memajukan
tumbuhnya budi pekerti,pikiran,dan tubuh anak
Ø
Proses
pertumbuhan yang menyesuaikandengan lingkungan
Ø
Pengarahan,
bimbingan, latihan
Ø
Usaha
sadar untuk menciptakan keadaan tertentu
Ø
Pembentukan
kepribadian anak menuju arah Kedewasaan
Ø
Kegiatan
yang ber kesinambungan
Ø
Merubah
tingkah laku
4. Definisi Pendidikan dalam Agama Buddha
Pendidikan
berasal dari istilah sikkha
(latihan), tersirat bahwa pendidikan merupakan proses belajar, latihan pelajaran,
mempelajari, mengembangkan dan pencapaian penerangan. Pada isitilah ini
termasuk juga disiplin moral (síla),
konsentrasi (samadhi), dan
pengetahuan atau kebijaksanaan (pañña)
(A.I.231). Demikian proses secara
terus-menerus dari perhatian pendidikan sebagai sifat fungsional dari latihan, praktek, dan kemajuan
setahap-demi setahap (anupubbasikkha
anupubbakiriyä anupubbapaëipadä).
Selama empat puluh lima
tahun Sang Buddha membabarkan jalan pembebasan. Beliau dikenal sebagai guru
para dewa dan manusia (sattha
devamanussanam) dan pernbimbing manusia. Disiplin moral (síla), meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (pañña)
yang dicapai berdasarkan perealisasian keadaan sebenarnya dan kehidupan
merupakan dasar dan Jalan yang diajarkan beliau. Hal ini dihubungkan belajar
seumur hidup dan meditasi yang ditujukan pada latihan dan mengendalikan pikiran
(batin).
Landasan
Filosofi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada empat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), yaitu mengidentifikasi dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan mengakhiri dukkha.
Lewat formulasi ini Buddha memberi petunjuk bagaimana sebaiknya mengatasi
masalah secara sistematis. Berdasar rumusan Empat Kebenaran Mulia Kowit
Vorapipatana mengembangkan konsep Khit-Pen yang artinya ‘berpikir, mengada’
(to think, to be) atau ‘mampu berpikir’ (to
be able to think) untuk
menggambarkan strategi pengajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan
kecakapan memecahkan masalah.
Masalah
sentral dalam pandangan Buddha adalah penderitaan manusia. Penderitaan
bersumber pada keinginan yang rendah (tanha).
Keinginan sendiri timbul tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya.
Dalam merumuskan rangkaian sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menempatkan
di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang
lebih buruk dari semua noda itu adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda
yang paling buruk. Para Bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang
tak bernoda” (Dhp. 243).
Agama Buddha memandang bahwa kebodohan merupakan akar penyebab
penderitaan dan menyebabkan pikiran yang tidak berkembang menjadi gangguan
pencapaian kedamaian, maka seseorang harus menekankan dalam hidupnya untuk
mengembangkan mental dan proses pendidikan agar tujuan mulianya tercapai.
Pendidikan dalam
agama Buddha dapat di katakan bersipat pragmatis menyangkut pemecahan masalah
untuk mencapai tujuan hidup manusia. Pilosopi pendidikan dalam agama Buddha
mengacu pada empat kebenaran mulia (cattary arya saccani) yaitu
mengidentipikasi: 1). Dukka 2). Asal mula
dukkka 3). Lenyapnya dukka 4).Jalan lenyapnya dukka
Kesunyataan mulia yang merupakan jalan
yang dapat membimbing orang keberhentinya atau lenyapnya penderitaan itu, yaitu
dengan cara jalan utama berunsur delapan
yang di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a.
Sila:
1. Samma
Vacca (ucapan benar )
2. Samma
Kammanta (perbuatan
benar)
3. Samma
Ajiva (penghidupan benar)
b.
Samadhi:
1. Samma
Vayama (daya upaya benar)
2. Samma
Sati (perhatian benar)
3. Samma
Samadhi (kosentrasi
benar)
c.
Panna
1. Samma
Ditthi (pengertian benar)
2. Samma
Sankhapa (pikiran benar)
secara sederhana
yaitu menghindari menyakiti orang lain dan menolong mereka sebisa mungkin yaitu
menghindari perbuatan negatif, melakukan kebajikan, mengendalikan batin kita.
Dan motifasi-motifasi yang menghancurkan (kemarahan, kemelekatan kebencian,
dll) kita berhenti menyakiti diri sendiri dan orang lain. Dengan melakukan
kebajikan semputna, mengembangkan sikap yang bermanfaat, seperti cinta kasih
dan welas asih universal, dan melakukan perbuatan yang di motifasi oleh pikiran.
Dengan mengendalikan batin, kita membuang semua pandangan yang salah.
Ajaran Buddha atau
dharma dipandang sebagai pelita yang menerangi kegelapan. Budha mengajarkan
”peganglah teguh dharma sebagai pelita , dan dharma sebagai pelindungmu”.
Dengan demikian berarti seseorang menjadi pelita dan pelindung bagi diri
sendiri, sehingga tidak menyalahkan nasibnya pada mahluk lain (D,II, 100 ).
Pendidikan pada
dasarnya bersifatt terbuka tidak ada yang disembunyaika,dharma yang diajarkan
oleh sang Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipasiko, artinya,datang dan lihat (A . III 285 ). Karena itu
pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengajian, pemahaman yang
rasioanal, dan pengalaman empiris.Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus
pada proses, suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian sebab
akibat.Seseorang yang melihat sebab akibat, melihat dharma (M . I, 191 ).
C.
Tugas
Guru
Tugas guru
terdapat dalam, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa tugas guru sebagai pendidik yang profesional
adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.
D.
Meningkatkan
Mutu Pendidikan
Untuk meningkat mutu
pendidikan kususnya pendidikan dalam agama buddha seharunya seorang tenaga
pengajar yang perofesional memiliki stertegi yang di gunakan dalam pembelajaran
dan untuk meningkatkan mutu pendidikan ada pun strategi yang di gunakan:
1. Perencanaan
Suatu
perencanaan mengandung tujuan, kebijaksanaan dan cara mencapai tujuan, kegiatan
yang akan dilakukan secara sistematis dan didasarkan pada perhitungan. Dalam
perencanaan Buddha mempertimbangkan situasi permasalahan dengan hambatan dan
potensinya. Ia menghindari atau membatasi ketidakpastian, dan sebaliknya
memastikan prospek perkembangan pada masa yang akan datang. Dengan bahasa kita
sekarang Ia memilih alternatif yang terbaik dan prioritas yang tepat sehingga
dapat memanfaatkan sumber daya dengan efektif sekaligus efisien.
Setiap
orang memiliki masalah sendiri. Masing-masing bisa berbeda pendapat. Buddha
tidak mengabaikannya dan biasa bertanya: “Apa pendapatmu?” atau “Bagaimana
pikiranmu?” Berbagai dialog yang tercatat dalam Kitab Suci dimulai dengan
pertanyaan itu. Setiap orang bisa berbeda kebutuhan dan keinginan. Buddha
mempertimbangkan keunikan setiap orang. Merencanakan suatu pertolongan,
termasuk dalam bidang pendidikan, perlu memperhatikan pendapat dan keinginan
orang yang akan ditolong atau dididik. Suatu perencanaan yang menyangkut
kepentingan pihak lain memerlukan kesamaan pendapat dan kesamaan sisi
pandang. Peserta didik harus tahu mengapa ia ingin belajar atau diajar.
Motivasi yang kuat akan memberi energi yang besar untuk melakukan kegiatan
belajar. Suatu strategi pendidikan harus dimulai dengan memotivasi.
Agar
kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik, harus ada persiapan.
Kesiapan mengajar dan kesiapan belajar sama pentingnya. Bagaimana mempersiapkan
seseorang untuk belajar, ditunjukkan oleh Buddha, misalnya dengan memberi
makan orang yang lapar sebelum Ia menyampaikan khotbah-Nya (DhpA. 203).
Kondisi
belajar selain berhubungan dengan keadaan fisik dan psikis seseorang, juga
dipengaruhi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan perlu dipertimbangkan untuk
melakukan kegiatan pendidikan tertentu. Lingkungan memiliki pengertian luas,
apakah itu lingkungan sosial, budaya, ekonomi, atau tempat terkait dengan
situasi dan kondisi. Seperti latihan meditasi menghendaki pemilihan
lingkungan yang sesuai menurut objeknya. Hutan misalnya, menjadi tempat pilihan
untuk mereka yang melatih diri dengan menyingkir dari keduniawian (Dhp. 99).
2. Strategi Pendekatan
Oleh
karena setiap orang itu unik, pendekatan dalam pendidikan beragam
memperhatikan potensi atau kapasitas, kebutuhan, sifat dan minat peserta
didik. Setiap orang diterima sebagaimana adanya dengan kelebihan atau
kekuatannya dan kekurangan atau kelemahannya. Seperti yang diumpamakan oleh
Buddha, bermacam-macam pohon, besar, sedang atau kecil, menerima air hujan
sesuai dengan kebutuhannya untuk tumbuh berkembang. Cara mendidik pun
bermacam-macam agar peserta didik mendapat manfaat yang sebesar-besarnya (Saddharmapundarika-sutra V).
Pendidikan
diberi secara sistematis dengan langkah bertahap. Kegiatan yang dimulai dengan sasaran-sasaran yang mudah dicapai,
akan memberi pengalaman berhasil yang mendorong langkah-langkah berikutnya.
Ganaka-Moggallana pernah bertanya kepada Buddha mengenai latihan yang
bertahap, yang dibandingkannya dengan bagaimana seorang murid diajar
menghitung satu-satu, dua-dua, tiga-tiga, hingga sepuluh lalu seratus. Buddha
pun menjelaskan bagaimana ajaran-Nya secara bertahap dan sistematis dapat
dipelajari dan dilaksanakan, mulai dari peraturan, mengendalikan indera,
hingga mengembangkan konsentrasi dan mencapai jhana (M. III. 1-2). Cara
yang bertahap diumpamakan seperti memperlakukan anak yang hilang, setelah kembali,
memerlukan penyesuaian diri, selangkah demi selangkah diberi kesempatan untuk
meningkatkan kedudukan atau tugas dan tanggung jawabnya (Saddharmapundarika-sutra
IV).
Keterampilan
dalam cara pendekatan menyangkut apa yang dinamakan upaya-kausalya. Secara harfiah kata upaya kausalya berarti “cara untuk mencapai hal yang harus
dicapai”. Pengertian ini meliputi berbagai cara atau instrumen yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kebebasan. Istilah ini juga sering
diartikan sebagai “kepandaian atau keterampilan untuk membuat yang lain
mencapai tujuan”. Keterampilan dalam cara ini dipandang merupakan salah satu
bentuk kesempurnaan dari sepuluh kesempurnaan (dasa-paramita) seorang Bodhisattwa yang penuh dengan cinta kasih (maitri) dan kasih sayang (karuna).
Kasus Biku Cula Panthaka merupakan contoh bagaimana pendekatan individual
memperhatikan keunikan seseorang yang memerlukan keterampilan dalam cara
mendidik. Biku yang tidak pandai menghafal ini diajar oleh Buddha untuk duduk
di bawah terik matahari, menggosok kain putih yang bersih, mengamatinya seraya
mengucapkan kata-kata “bersih dari kekotoran”. Melihat proses kain itu
menjadi kotor kena keringat tangannya, seketika ia sampai pada pemahaman
induksi kausalitas dan ketidakkekalan (DhpA.
25). Peristiwa ini mirip dengan Newton yang mengamati apelnya atau Archimedes
yang mengamati air bak mandinya.
Belajar
tidak hanya untuk mengetahui atau mengingat (pariyatti)
tetapi juga untuk melaksanakan (patipatti)
dan mencapai penembusan (pativedha).
“Meskipun seseorang banyak membaca Kitab Suci, tetapi tidak berbuat sesuai
dengan Ajaran, orang yang lengah itu sama seperti gembala yang menghitung sapi
milik orang lain, ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.” (Dhp. 19). Pengetahuan saja tidak akan membuat orang terbebas dari
penderitaan, tetapi ia juga harus melaksanakannya (Sn. 789).
Manusia
adalah paduan unsur jasmani (rupa)
dan rohani (nama), yang saling
berkaitan, saling bergantungan dan saling mempengaruhi, tanpa ada yang menjadi
inti (anatta). “Segala sesuatu adalah
tanpa inti” (Dhp. 279). Buddha tidak
memisahkan jiwa sebagai suatu substansi yang berdiri sendiri atau terpisah
dari raga. Karena itu dalam pendidikan, membangun jiwa tidak mungkin tanpa
disertai membangun raga, dan membangun raga harus disertai membangun
jiwa.
Mengacu
pada pembicaraan Buddha dengan Kesi, strategi
pendekatan dalam pendidikan dapat dibedakan atas:
1. Pendekatan halus/ positif: menunjukkan apa
yang baik dan hasilnya yang menimbulkan kesenangan atau keuntungan.
2.
Pendekatan
keras/negatif: menunjukkan apa yang tidak baik dan hasilnya yang menimbulkan
penderitaan atau kesusahan.
3. Gabungan pendekatan keras dan halus.
Tentu saja
peserta didik tidak kehilangan kebebasan, tetapi memahami konsekuensi yang
akan dihadapi atas pilihannya. Gagal dengan ketiga bentuk pendekatan itu,
akhirnya seorang siswa yang tidak dipedulikan atau dimasabodokan sama saja
artinya dengan dibunuh (A. II. 111).
Pendekatan
yang halus ditemukan pada ajaran tentang perbuatan yang baik dan hasilnya yang
baik, misal jenis-jenis perbuatan yang menghasilkan kelahiran kembali di alam
surga. Mengajarkan meditasi dan
hasilnya hingga mencapai tingkatan-tingkatan jhana, begitu juga tingkat kesucian dan ciri-cirinya, memakai
pendekatan halus atau intervensi berupa fasilitasi. Fasilitasi bersifat
informatif, dan tujuan pencapaian ditetapkan sendiri oleh peserta didik.
Buddha sering menempatkan diri sebagai fasilitator, seperti dalam kasus Kisa
Gotami yang diminta mencari segenggam biji lada dari rumah orang yang tidak
pernah kematian, untuk menghidupkan anaknya yang sudah mati (DhpA. 114).
Pendekatan
halus yang lain adalah persuasi, yang bersifat mengajak melalui argumentasi
atau diskusi, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan.
Misalnya dalam hal mendorong umat berdana, mempertahankan kerukunan,
menghormati orang tua. Cara persuasi dipergunakan oleh Buddha ketika menuntun
Ambattha untuk menyadari bahwa tidak benar martabat manusia ditentukan oleh
kelahiran atau kastanya (D. I. 92-100).
Atau ketika menyadarkan Visakha bahwa semakin banyak memiliki anak dan cucu,
akan semakin sering berduka menghadapi kematian mereka yang dicintainya (Ud. 91-92). Dalam kasus Biku Nanda yang
bosan menjadi biku, sehingga Buddha memperlihatkan lima ratus bidadari kepadanya
(DhpA. 13-14), agaknya dapat
ditemukan cara persuasi sekaligus manipulasi. Dalam hal ini manipulasi yang
dimaksud bukan kecurangan atau dusta yang merugikan seseorang.
Manipulasi
adalah upaya untuk mempengaruhi perilaku, sikap dan pendapat orang lain tanpa
sepengetahuan atau disadari oleh orang itu. Cara seperti ini dapat dilihat
dari parabel bagaimana seorang ayah menawarkan mainan untuk menyelamatkan
anak-anaknya yang ada dalam rumah yang terbakar (Saddharmapundarika-sutra III), atau parabel penciptaan kota palsu
dan gaib untuk menenangkan jemaah yang nyaris urung meneruskan perjalanan ke
kota idaman (Saddharmapundarika-sutra
VII). Praktik mengumpulkan dana melalui penyelenggaraan ritual,
menggunakan kegiatan bermain untuk mengajar, dapat dikatakan mengandung unsur
manipulasi.
Pendekatan
keras ditemukan pada ajaran tentang perbuatan yang buruk menghasilkan akibat
yang buruk, dan kelahiran di alam-alam binatang ataupun neraka. Berlawanan
dengan penghargaan atau semacam hadiah pada pendekatan halus, pada pendekatan
keras ganjaran itu berupa hukuman. Penggunaan hukuman atau sanksi pada suatu
peraturan atau hukum merupakan tekanan yang membuat orang tidak ingin
melanggarnya. Koersi, bersifat
memaksa, apakah itu instruksi,
hukum, atau kontrak, selalu diikuti sanksi.
Tentu saja orang yang berinteraksi tidak kehilangan kebebasan untuk
menentukan pilihannya. Hanya dengan memiliki kebebasan setiap manusia bertanggungjawab.
Untuk
menjinakkan dan melatih gajah liar yang baru lebih mudah dengan bantuan gajah
lain yang sudah jinak dan terlatih. Gajah liar diikat pada gajah jinak yang
membimbingnya keluar dari hutan. Gajah yang diikat itu mulai dilatih bagaimana
seharusnya mengatur laku supaya diterima oleh lingkungannya yang baru (M. III. 132). Gajah yang dibesarkan di
tengah rombongan sirkus tidak bisa lain dari menjadi gajah sirkus. Kebiasaan
itu ditularkan. Untuk menjadi pandai, Buddha menganjurkan agar bergaul
dengan orang yang pandai. “Karena itu mendapatkan orang yang pandai, bijaksana,
terpelajar, tekun, patuh dan mulia, hendaknya ia selalu mengikuti orang
seperti itu bagai bulan mengikuti peredaran bintang” (Dhp. 208).
3. Metode Pembelajaran
Penyampaian
ajaran dilakukan kepada dan dengan pendekatan individu atau kelompok. Ceramah
diberikan secara sistematis. Agar mudah diingat, penyampaian materi dapat
diberi urutan nomor, dikelompokkan menurut tema dan berdasar jumlah butir
uraian seperti yang ditemukan dalam Kitab Suci Anguttara-Nikaya. Buddha sering
mengulang khotbah-Nya yang penting pada berbagai kesempatan. “Sering mengulang
pelajaran membuahkan pengetahuan yang mendalam” (A. V. 136). Selain narasi deskriptif dan analisis, Buddha banyak
menyampaikan ajaran dalam bentuk cerita dan syair. Pengungkapan konsep
mungkin menghadapi keterbatasan kata-kata, karena itu yang dipentingkan
adalah menangkap maknanya. Selain memakai sinonim, berbagai perumpamaan,
contoh-contoh, visualisasi atau peragaan dipergunakan untuk memberi
penjelasan. Buddha juga mengizinkan orang yang mempelajari ajaran-Nya untuk
menggunakan bahasa masing-masing (Vin.
II. 139). Di akhir pembahasan dibuat kesimpulan yang singkat tetapi
jelas. Teknik-teknik semacam ini memudahkan para umat untuk memahami dan
menghafal apa yang telah diajarkan. Selain itu teori harus didukung oleh
praktik atau latihan.
Komunikasi yang baik akan
membawa keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Untuk itu diperlukan tanya
jawab dan dialog secara aktif. “Sering mendengarkan dan menanyakan membuahkan
kebijaksanaan” (A. V. 136). Diskusi
dan debat merupakan cara yang efektif sepanjang tidak mengabaikan aspek
manfaat. Buddha Gotama ahli dialog dan dialektika yang selalu membuat
orang-orang tunduk di kala berdebat. Ia mesti mengatasi segala perbedaan dan
pertentangan pandangan di zaman yang sedemikian kusut dan menjerat manusia
bagai perangkap jaring. Yang menarik dari diri Buddha adalah perpaduan antara
kepala yang dingin dan hati yang hangat. Buddha bebas dari perasaan
sentimental di satu pihak dan di pihak lain tidaklah bersikap masa bodoh.
Agar memperoleh pengertian
yang benar, diperlukan kesaksian dari orang yang lain dan pengamatan atau
perenungan sendiri yang setepat-tepatnya secara bijaksana (M. I. 294). Sikap subjektif seperti suka dan tidak suka (Sn. 781), kecenderungan karena
keinginan yang mengikat, kebencian, kegelapan batin dan ketakutan (A. II. 18) merintangi seseorang untuk
memahami kebenaran apa adanya.
Buddha
memberi kesempatan bagi mereka yang ingin mengemukakan opini. “Para Biku, Aku
mengizinkan, bilamana terdapat empat atau lima orang yang menyanggah, bilamana
terdapat dua atau tiga orang mengutarakan pendapat. Bila hanya seorang yang
mengambil keputusan, tiadalah Aku berkenan” (Vin I. 115). Semangat ini dapat ditemukan dalam berbagai metode
diskusi, seperti seminar, simposium, dan lokakarya. Tentu saja, kegiatan
kelompok akan berhasil jika semua peserta berperan secara aktif dan bermakna.
Setiap
peserta didik memerlukan pengalaman belajar mandiri maupun belajar dalam
kelompok. Tugas perorangan sebagai latihan merupakan cara yang dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan. Untuk memahami permasalahan dan memecahkan masalah, studi
kasus dan studi lapangan tentu akan memberi pengalaman belajar yang
efektif.
Pengetahuan
manusia adalah segala sesuatu yang dijangkau oleh mata dan bentuk materi,
telinga dan bunyi, hidung dan bau, lidah dan rasa, badan dan objek-objek
sentuhan, pikiran dan objek-objek mental (S.
IV. 15). Untuk mendapatkan persepsi lewat indera yang sebaik-baiknya,
berbagai media audio visual atau multi media akan sangat menolong. Selain itu
suasana lingkungan belajar juga memberi pengaruh yang cukup besar.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu
yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan,
pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk
memajukan kebudayaan melewati generasi. dan guru adalah sebagai pembimbing,
pendidik, fasilitator, dan pembaharu dalam kegiatan pendidikan ketarap yang
lebih kedepan. Sang buddha juga tidak menghendaki pendidikan yang
menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun (M. II. 170).
B. Saran
Demikian
karya tulis yang telah penulis buat, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dalam meningkatkan pembelajaran. Semoga karya tulis ini dapat
membantu pembaca dalam memahami seorang guru untuk meningkatkan pendidikan
dalam agama Buddha.
Penulis
menyarankan untuk mengetahui pengertian Konsep Pendidikan lebih lanjut
diharapkan dapat membaca buku buku yang lain agar dapat memahami lebih mendalam.
REFERNSI
Cintiawati,
Wena, dkk., 2003. Petikan Angutara
Nikaya. Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Emil
Rosmali. 2005. Tugas Dan Peranan Guru, (online), (http://alfurqon.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=110,
diakses 2 januari 2009)
Supandi, Cunda. J. (penterjemah). 1997. Dhammapada.
Bandung: Karaniya.
Tim Penyusun,
1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Tim Penullis. 1999.Pengantar Pendidikan : CV. IKIP
Semarang Press:Semarang
Wijaya-mukti,
Krishnanda, 2003. Wacana Buddha-Dhamma.Jakarta:
Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhist Centre.
0 comments:
Post a Comment