MAKNA SALAM OMITOHUD ( AMITOUFO /
AMITOFO )
Oleh : Y.M. Bhiksu Kusala Phassa
Sthavira
Saudara-saudari se-Dharma, dalam
berbagai kesempatan, sudah menjadi kewajiban bagi umat Buddha, apabila kita
berjumpa dengan anggota sangha, atau teman-teman se-Dharma dalam suasana
apapun, walaupun tidak dalam suasana kebaktian memuliakan dan memuji nama para
Buddha dan Bodhisattva, kita harus saling menyapa, memberi salam ”OMITOHUD.”
Setiap kali kita hadir di vihara untuk kebaktian atau keperluan lainnya, kata
pertama yang kita sapa seharusnya bukan ”hallo”, ”apa kabar”, ”hai”dan
sebagainya. Mengapa demikian? Tentu saja ada alasannya dan manfaatnya,
sayangnya banyak diantara kita yang tidak mengetahui manfaat memberi salam
”OMITOHUD”.
Kata Omitohud berasal dari dialek
bahasa hokkian, dalam bahasa mandarin biasanya disebut ”Amithofo” atau dalam
bahasa sansekerta ”Amitabha”. Marilah kita lihat satu persatu manfaat bila kita
sering menyapa memberi salam ”Omitohud”.
1. Menumbuhkan keyakinan akan
Buddha Dharma kepada orang yang belum berkeyakinan.
2. Meningkatkan keteguhan
terhadap Buddha Dharma kepada orang yang telah berkeyakinan.
3. Mendapatkan keyakinan,
keteguhan, kepercayaan dan kekuatan luar biasa kepada diri sendiri dan memancarkannya
kepada semua mahluk. Dalam Amitabha Sutra disabdakan: ”bila kita selalu melafal
atau menyebut nama Amitabha Buddha, maka kita akan berumur panjang, memiliki
kebahagiaan tak terhingga, mendapatkan terang cahaya tanpa batas”.
Lalu apakah manfaatnya bila kita
menyapa anggota sangha atau teman se-Dharma lainnya?
1. Menvisualisasikan doa dan
berkah kepada benih-benih Buddha yang dimiliki semua makhluk, laksana sebuah
biji yang kita beri pupuk dengan kasih sayang, dari biji tumbuh akar,
selanjutnya tumbuh baktang dan akhirnya berbunga kemudian berbuah.
2. Memuji orang yang kita temui,
semoga selalu bercahaya dalam usaha, kesehatan, usia, rejeki, kesejahteraan dan
lainnya.
Dengan demikian berarti kita
telah mendoakan semua orang dengan hal-hal yang positif dan penuh welas asih.
Lewat pikiran maupun ucapan kita telah mempraktekkan Buddha Dharma, laksana
bunga yang mekar dan bercahaya tanpa batas.
Ada tiga pintu karma:
1. Badan jasmani
2. Ucapan
3. Pikiran
Sebenarnya sambil memberi salam
”Omitohud”, banyak sekali praktek Dharma yang kita jalankan. Melalui perbuatan,
tangan kita berksikap anjali, melalui ucapan, mulut yang sering berkata kasar
dan melukai perasaan orang lain, mengucapkan penyesalan dengan mengucapkan
”Omitohud” kepada semua orang, dari pikiran yang sering tinggi hati, penuh
kasih sayang kita memberi salam dan hormat kepada orang lain, hal ini berarti
kita memuji dan mengesampingkan ego dari ketiga hal di atas, paling sulit
dilaksanakan adalah dari pikiran yang sulit dipraktekkan. Masih banyak terlihat
diantara kita berkata ”Omitohud”, tetapi hanya dimulutnya saja sedangkan
pikirannya masih ada kebencian.
Sungguh disayangkan bila bibit
Bodhisattva yang siap tumbuh karena telah beranjali dan berucap ”Omitohud”,
tetapi pikirannya tidak di tunjang dengan rasa kebahagiaan dan Maitri,
sebaliknya hanya sekedar formalitas atau lebih para malah mengandung sindiran
atau kebencian, indahnya surga Sukhavati yang didiami oleh Amitabha Buddha
tidak dapat kita rasakan pada kehidupan sehari-hari.
Jangan berpikir memberi salam
”Omitohud” hanya dapat kita berikan kepada anggota sangha saja, tapi juga
kepada orang tua, suami, istri, saudara kandung, dan juga kepada semua
teman-teman se-Dharma tanpa ada perbedaan status tua, muda, kaya, miskin, cantik,
cacat dan lainnya. Alangkah indahnya bila, orang yang merasa kaya, cantik,
tampan, pintar, berkuasa dan sebagainya dapat mempraktekkan rendah hati dan
sopan santunnya, begitu pula sebaliknya orang yang merasa miskin, cacat, tidak
cantik, biasa-biasa saja, dan sebagainya menjadi tidak rendah diri, tidak segan
dan saling bertegur sapa. Yang terpenting keduanya telah saling bertegur kasih
sehingga mendapat cahaya kebodhian, wawasan, kebijaksanaan, panjang usia,
selalu sehat, banyak rejeki dan diberkahi Amitabha Buddha.
Dalam Amitayur-Dhyana Sutra
disabdakan: ”Aura Hyang Buddha Amitabha (Omitohud) meliputi seratus juta
trisahasra-mahasahasra lokadathu, yang didalamnya terlihat Nirmanakaya-Buddha
(tubuh perwujutan Hyang Buddha) sampai sejumlah satu juta niyuta koti, yang
tak-terhitung seperti butiran pasir sungai Gangga. Masing-masing
Nirmanakaya-Buddha ini mempunyai sejumlah pengiring Bodhisattva perwujudan
(Nirmana-Bodhisattva) yang tak terhitung, yang melayani beliau.”
”Buddha Amitabha (Omitohud)
memiliki 84.000 ciri (tubuh); tiap-tiap ciri memiliki 84.00 tanda kemuliaan;
tiap-tiap tanda mengeluarkan 84.000 sinar; tiap-tiap sinar memancarkan demikian
jauhnya sehingga menyinari segenap dunia di sepuluh penjuru, untuk mengayomi
dan melindungi makhluk-makhluk yang mengingat kepada-Nya tanpa mengecualikan
(salah seorang pun di antara mereka)”.
”Hendaknya kau ketahui; O Ananda,
bahwa tubuh Hyang Buddha Amitabha seratus juta kali sama terangnya seperti
warna emas Jambunanda yang terhadapat dalam istana sorga dewa Yama; tinggi
Hyang Buddha Amitabha enam ratus ribu niyuta koti yojana, yang tak-terbayangkan
seperti butiran pasir sungai Gangga.” ”Mereka
yang ingin melihat Buddha Amitabha, harus mengarahkan pikiran mereka untuk
membentuk persepsi atas bunga teratai di atas tanah tujuh permata.”
Dan Hyang Buddha bersabda kepada
Ananda, dan Ratu Vaidehi bahwa untuk Jenis kelaran mulia (dalam alam Sukhavati)
tingkat tinggi yang dapat dicapai melalui tiga macam pikiran, yakni:
1. Tekad
2. Keyakinan
3. Pelaksanaan
”Mereka yang telah menyempurnakan
ketiga macam pikiran ini pasti akan terlahir di alam Sukhavati (Kebahagiaan
Terluhur)”.
Didalam sutra Buddha dikatakan
bahwa vihara adalah tempat atau ladang untuk menanam dan menebarkan benih-benih
kebajikan. Oleh sebab itu, selayaknya kita semua perbanyaklah melatih Dharma.
Sudah cukup menbanggakan kita semua menempuh jarak yang cukup jauh, membuang
beberapa waktu, penuh pengorbanan melewati kemacetan, atau harus berganti-ganti
kendaraan umum, namun begitu tiba di vihara hanya datang bersujud, meminta
’tolong’ kepada para Buddha dan Bodhisattva, membakar dupa (hio), lalu pulang.
Biasakan manfaatkan ladang ini, mengikuti kebaktian dengan khusyuk, ketika
bertemu teman jangan berdiam diri, lapangkan dada, penuh ketulusan, sapa dan
berilah salam ”Omitohud”. Jangan tumbuhkan perasaan malu, malas, orang nya
dalam posisi jauh, sungkan, takut, dan lainnya karena akan mengalami kerugian.
Di tengah keluarga antar anak
kepada orang tua, kakak dengan adik atau sebaliknya adik dengan kakak,
hendaknya biasakanlah saling menyapa dahulu ”Omitohud”. Antar istri dengan
suami misal; suami baru pulang kerja atau selesai tutup toko, jika pulang ke
rumah sambutlah dengan ramah tamah, kehangatan dan sapalah dengan ”Omitohud”.
Kemudian antar anak kepada orang tua, hendaklah bila selesai pulang sekolah,
kuliah atau bermain ke rumah teman sebaiknya sesampainya di rumah ketemu Bapak
dan Ibu sapalkah dengan ”Omitohud”, janganlah karena gengsi sehingga kita
seperti sedang mengangkat barang yang berat, kita malu menyapa dengan
”Omitohud”. Tapi sudah kewajiban kita dan biasakanlah diri atas kesadaran
sendiri saling menyapa ”Omitohud”, maka janganlah karena memelihara kilesa,
malu, sungkan, gengsi karena dari semua yang kita jalankan akan mendapatkan
kebahagiaan terlebih dahulu.
Kebahagiaan yang bagaimana?
Sebelum orang lain mendapatkan ’pahala rejeki yang luar biasa’, kita dirumah
telah menyapa terlebih dahulu dengan ”Omitohud”, maka Bapak, Ibu, kakak, adik
ataupun diri kita sendiri akan mendapatkan pahala rejeki terlebih dahulu,
panjang usia terlebih dahulu, keluarga akan tercipta sangat harmonis dan
sekeluarga selalu sehat terlebih dahulu dan lain sebagainya.
Seperti juga pada orang-orang
muslim, mereka antar sesama umat bila bertemu selalu tunduk, hormat dan
mengucapkan ”Asalamualaikum”. Untuk itu kita sebagai umat Buddha janganlah
malu, sungkan atau berat hati mengucapkan ”Omitohud” apalagi di vihara.
”Satu kata dapat menyelamatkan
satu negara dan satu kata juga dapat menghancurkan satu bangsa” (Master Hsing
Yun)
”Ucapan yang kasar adalah tanda
bahwa seseorang senang merugikan orang lain atau mengakibatkan penderitaan bagi
orang lain; manusia seperti ini adalah sumber dari masalah.” (Sutra Kushalamula
Samgraha)
”Jika ucapanmu senantiasa lembut,
baik, serta harmonis dengan perasaan orang lain, tingkah lakumu akan didukung
oleh ucapan itu dan engkau tidak akan mudah merugikan orang lain melalui tubuh
dan pikiranmu. Ucapan yang baik laksana pohon yang sedang berbunga; pada
masanya, buahnya akan manis dan cantik.” (Sutra Yogacharabhumi)
Mari temen2 se-Dharma kalo
bertemu temen,kerabat,keluarga mari ucapkan Namo Amitoufo / Omitohud...
Semoga kita tambah maju dalam
Buddha Dhamma..
Semoga Semua Makhluk Hidup
Berbahagia...
Sadhu..Sadhu..Sadhu..
2 comments:
Maaf. Posting ini menurut saya tidak dapat mewakili ajaran Budha.tapi
merupakan pengertian dan interpretasi pribadi.
Atas gua pasti Theravadin....
Post a Comment